• Cyanophyta

    Cyanophyta merupakan salah satu jenis plankton atau ganggang yang memiliki pigmen dominan hijau biru sehingga sering juga disebut sebagai ganggang hijau biru. Cyanophyta juga disebut sebagai Cyanobacteria. Sebutan Cyanobacteria disebabkan karena organisme ini memiliki sifat diantara bakteri dan ganggang, yaitu mampu berfotosintesis, namun memiliki struktur sel seperti bakteri.

  • Chlorophyta

    Chlorophyta adalah divisi dari alga hijau dan merupakan kelompok terbesar dari vegetasi alga. Chlorophyta mengandung pigmen klorofil a dan b lebih dominan dibandingkan karotin dan xantofil, bersifat kosmopolit, dan hidup di perairan yang intensitas cahayanya cukup seperti halnya di kolam, danau, genangan air hujan, serta air mengalir (sungai dan selokan).

  • Diatom

    Diatom merupakan kelompok mikroalga yang sering ditemukan dalam jumlah besar. Jumlahnya yang cenderung banyak diperairan disebabkan karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan, bersifat kosmopolit, tahan terhadap kondisi ekstrim serta mempunyai daya reproduksi yang tinggi.

  • Dinophyta

    Dinophyta mencakup semua dinoflagellata, suatu kelompok besar fitoplankton perairan berflagella. Kebanyakan dinoflagellata menghuni lautan, walaupun juga ada yang menempati perairan tawar. Populasi mereka bergantung pada suhu, kadar garam dan kedalaman perairan.

  • Euglenophyta

    Euglenophyta merupakan kelompok protista yang unik karena memiliki sifat mirip tumbuhan dan hewan. Dianggap mirip tumbuhan karena memiliki klorofil a dan b, juga ditemukan karotenoid sehingga dia akan berfotosintesis. Euglenophyta dianggap mirip hewan karena dapat bergerak aktif dengan pertolongan satu atau beberapa bulu cambuk (flagela) yang keluar dari selnya. Karena mempunyai alat gerak, dia dapat hidup di perairan, misalnya air tawar dan air tergenang.

Minggu, 02 April 2023

Referensi

Posted by Khairunnisa on April 02, 2023 with No comments
Anggriani, U. M., Hasan, A., & Purnamasari, I. (2021). Kinetika Adsorpsi Karbon Aktif dalam Penurunan Konsentrasi Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb). Jurnal Kinetika, 12(2), 29–37. https://jurnal.polsri.ac.id/index.php/kimia/index

Armanda, D. T. (2013). Pertumbuhan Kultur Mikroalga Diatom Skeletonema costatum (Greville) Cleve Isolat Jepara pada Medium F/2 dan Medium Conway. Bioma, 2(1), 49–63. http://journal.upgris.ac.id/index.php/bioma/article/downloadSuppFile/399/14

Aryani, M., Fitriani, L., Harmoko, H., & Sepriyaningsih, S. (2020). Mikroalga Divisi Bacillariophyta yang Ditemukan di Sungai Kasie Kecamatan Lubuklinggau Barat I Kota Lubuklinggau. Florea : Jurnal Biologi Dan Pembelajarannya, 7(1), 48–53. https://doi.org/10.25273/florea.v7i1.5206

Budiono, A. (2003). Pengaruh Pencemaran Merkuri terhadap Biota Air. Makalah Pengantar Falsafah Sains, 1–11. https://www.rudyct.com/PPS702-ipb/05123/a_budiono.pdf

Datta, S. (2009). Identification of Freshwater Phytoplanktons. http://dx.doi.org/10.13140/2.1.4338.4645

Dong, D., Sun, H., Qi, Z., & Liu, X. (2021). Improving Microbial Bioremediation Efficiency of Intensive Aquacultural Wastewater Based on Bacterial Pollutant Metabolism Kinetics Analysis. Chemosphere, 265. https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2020.129151

Edaniati, E., & Fitriani, F. (2015). Analisis Perilaku Masyarakat terhadap Dampak Merkuri untuk Kesehatan di Gampong Cot Trap Kecamatan Teunom Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2014. J-Kesmas: Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat (The Indonesian Journal of Public Health), 2(2), 8–31. https://doi.org/10.35308/j-kesmas.v2i2.1097

Edwards, P. (2015). Aquaculture Environment Interactions: Past, Present and Likely Future Trends. Aquaculture, 447, 2–14. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2015.02.001

Eisler, R. (2006). Mercury Hazards to Living Organisms. Boca Raton, Florida: CRC Press. https://doi.org/10.1201/9781420008838

Hakiki, R. (2016). Mikroalga Sebagai Bioindikator Kualitas Air Permukaan Studi Awal : Hubungan antara Konsentrasi Pigmen dan Berat Kering dalam Penentuan Kandungan Mikroalga pada Sampel Air Artifisial. Journal of Environmental Engineering and Waste Management, 1(1), 46–54. http://dx.doi.org/10.33021/jenv.v1i1.41

Harmoko, H., & Sepriyaningsih, S. (2018). Keanekaragaman Mikroalga Chlorophyta di Sungai Kelingi Kota Lubuklinggau Sumatrera Selatan. Jurnal Pro-Life Volume, 5(3), 666–676. https://doi.org/10.33541/jpvol6Iss2pp102

Khatri, N., & Tyagi, S. (2015). Influences of Natural and Anthropogenic Factors on Surface and Groundwater Quality in Rural and Urban Areas. Frontiers in Life Science, 8(1), 23–39. https://doi.org/10.1080/21553769.2014.933716

Kristianingsih, Y. (2018). Bahaya Merkuri pada Masyarakat Dipertambangan Emas Skala Kecil (PESK) Lebaksitu. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10(1), 32–38. https://doi.org/10.37012/jik.v10i1.12

Kumaji, S. S., Katili, A. S., & Lalu, P. (2019). Identifikasi Mikroalga Epilitik sebagai Biomonitoring Lingkungan Perairan Sungai Bulango Provinsi Gorontalo. Jambura Edu Biosfer Journal, 1(1), 15–22. https://doi.org/10.34312/jebj.v1i1.2042

Mahmud, M., Fitryane, L., Ishak, I., & Patuti, I. M. (2013). Fitoremediasi sebagai Alternatif Pengurangan Limbah Merkuri Akibat Penambangan Emas Tradisional di Ekosistem Sungai Tulabolo Kabupaten Bone Bolango. Jurnal Sainstek, 7(2). https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/ST/article/view/1126/912

Noerdjito, D. R. (2019). Interaksi Mikroalga-Bakteri dan Peranannya dalam Produksi Senyawa dalam Kultur Mikroalga. Oseana, 44(2), 25–34. https://doi.org/10.14203/oseana.2019.vol.44no.2.48

Nurhayati, D., & Putri, D. A. (2019). Bioakumulasi Logam Berat pada Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Cirebon Beradasarkan Musim yang Berbeda. Akuatika Indonesia, 4(1), 6–10. https://doi.org/10.24198/jaki.v4i1.23484

Nursagita, Y. S., & Sulistyaning, H. (2021). Kajian Fitoremediasi untuk Menurunkan Konsentrasi Logam Berat di Wilayah Pesisir Menggunakan Tumbuhan Mangrov (Studi Kasus: Pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta). Jurnal Teknik ITS, 10(1), 22–28. http://dx.doi.org/10.12962/j23373539.v10i1.59848

Panggabean, L. S., & Prastowo, P. (2017). Pengaruh Jenis Fitoplankton terhadap Kadar Oksigen di Air. Jurnal Biosains, 3(2), 81–85. https://doi.org/10.24114/jbio.v3i2.7535

Patoding, M. M., Londa, J. E., & Soeikromo, S. (2021). Pemulihan Lingkungan Hidup Akibat Terjadinya Perusakan dan Pencemaran. Lex Administratum, 9(3), 37–37. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/33216/31408

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82. (2001). Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. http://web.ipb.ac.id/~tml_atsp/test/PP RI NO_82_TAHUN_2001.pdf

Pratiwi, D. Y. (2020). Dampak Pencemaran Logam Berat (Timbal, Tembaga, Merkuri, Kadmium, Krom) Terhadap Organisme Perairan dan Kesehatan Manusia. Jurnal Akuatek, 1(1), 59–65. http://journal.unpad.ac.id/akuatek/article/viewFile/28135/13485

Priadie, B. (2012). Teknik Bioremediasi sebagai Alternatif dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(1), 38–48. https://doi.org/10.14710/jil.10.1.38-48

Purnamawati, F. S., Soeprobowati, T. R., & Izzati, M. (2015). Potensi Chlorella vulgaris Beijerinck Dalam Remediasi Logam Berat Cd Dan Pb Skala Laboratorium. Bioma : Berkala Ilmiah Biologi, 16(2), 102–113. https://doi.org/10.14710/bioma.16.2.102-113

Rahayu, D. R., & Mangkoedihardjo, S. (2022). Kajian Bioaugmentasi untuk Menurunkan Konsentrasi Logam Berat di Wilayah Perairan Menggunakan Bakteri (Studi Kasus: Pencemaran Merkuri di Sungai Krueng Sabee, Aceh Jaya). Jurnal Teknik ITS, 11(1), 15–22. https://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/download/82791/7000

Ratnawati, E., Ermawati, R., & Naimah, S. (2010). Teknologi Biosorpsi oleh Mikroorganisme, Solusi Alternatif untuk Mengurangi Pencemaran Logam Berat. Jurnal Kimia Dan Kemasan, 32(1), 34–40. http://dx.doi.org/10.24817/jkk.v32i1.2739

Resiana, T., Apriadi, T., & Muzammil, W. (2021). Perifiton Epilitik sebagai Bioindikator Kualitas Air Sungai Senggarang di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Limnotek : Perairan Darat Tropis di Indonesia, 28(1), 39–50. https://doi.org/10.14203/limnotek.v28i1.357

Rondonuwu, S. B. (2014). Fitoremediasi Limbah Merkuri Menggunakan Tanaman dan Sistem Reaktor. Jurnal Ilmiah Sains, 14(1), 52–59. https://doi.org/10.35799/jis.14.1.2014.4951

Setiyono, A., & Djaidah, A. (2012). Pengaruh Konsumsi Ikan dan Hasil Pertanian terhadap Kadar Hg Darah. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2), 110–116. https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/download/2805/2861

Sopiah, N., Mulyanto, A., & Sehabudin, S. (2016). Pengaruh Kelimpahan Sel Mikroalgae Air Tawar (Chlorella sp.) terhadap Penambatan Karbondioksida = Effect of Microalgae Cell Density (Chlorella sp) on Absorption of Carbondioxide. Jurnal Teknologi Lingkungan, 14(1), 1–6. https://doi.org/10.29122/jtl.v14i1.1431

Taylor, J. C., Harding, W. R., & Archibald, C. G. M. (2007). A Methods Manual for the Collection, Preparation and Analysis of Diatom Samples. In Report to the Water Research Commission. https://doi.org/10.2307/2963468

Widiastuti, I. M., Hertika, A. M. S., Musa, M., & Arfiati, D. (2018). Konsentrasi Merkuri dalam Kolam Limbah Pencucian Logam. Agromix, 9(2), 89–98. https://doi.org/10.35891/agx.v9i2.1376

Widyasari, N. L. (2021). Kajian Tanaman Hiperakumulator Pada Teknik Remediasi Lahan Tercemar Logam Berat. Jurnal ECOCENTRISM, 1(1), 17–24. https://e-journal.unmas.ac.id/index.php/jeco/issue/view/124

Wiener, J. G., & Suchanek, T. H. (2008). The Basis For Ecotoxicological Concern in Aquatic Ecosystems Contaminated by Historical Mercury Mining. Ecological Applications, 18(8), 3–11. https://doi.org/10.1890/06-1939.1

Zakir, A., Budiarsa Suyasa, I. W., & Astarini, I. A. (2022). Efektivitas Mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina plantensis dalam Biosorpsi Logam Nikel di Perairan (Kasus Perairan Pomalaa Kabupaten Kolaka). ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 16(1), 83–94. https://doi.org/10.24843/ejes.2022.v16.i01.p08

Zurzolo, C., & Bowler, C. (2001). Exploring Bioinorganic Pattern Formation in Diatoms. A Story of Polarized Trafficking. Plant Physiology, 127(4), 1339–1345. https://doi.org/10.1104/pp.010709

About

Posted by Khairunnisa on April 02, 2023 with No comments

Blog ini ditujukan untuk pembelajaran pada Matakuliah Ilmu Lingkungan. Topik pembahasan dalam blog akan mengupas tentang materi pencemaran lingkungan perairan yang ditimbulkan oleh aktivitas PESK, dampaknya terhadap keberadaan mikroalga sungai hingga upaya penyelesaian yang dapat dilakukan untuk menangani kasus pencemaran tersebut. Dalam Blog ini proses pembelajaran berpusat pada mahasiswa/Student Centered Learning (SCL) dengan target capaian yaitu dapat menstimulus Literasi Lingkungan mahasiswa. Pengemasan bahan ajar dalam bentuk Blog ini diharapkan dapat mendukung Kurikulum Merdeka dengan menyediakan platform media belajar online yang berkualitas bagi para mahasiswa.


Penulis: Khairunnisa
Kontak: mayanisa0411@gmail.com



Mikroalga sebagai Bioremediator Logam Berat

Posted by Khairunnisa on April 02, 2023 with 183 comments

Bioremediasi adalah salah satu bentuk upaya pemulihan lingkungan yang memanfaatkan mikroorganisme yang telah diuji efektivitasnya dan dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu guna menurunkan kadar polutan tersebut. Prinsip bioremediasi yaitu mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks dengan menggunakan enzim-enzim yang diproduksinya sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya (Priadie, 2012). Bioremediator adalah sebutan bagi mikroorganisme yang digunakan untuk mengurangi polutan di lingkungan.
Mikroalga telah terbukti memiliki daya adaptasi yang tinggi untuk bertahan dalam kondisi lingkungan yang tercemar, karena mampu mengkonversi limbah yang ada menjadi sumber nutrisi bagi keberlangsungan hidupnya (Dong et al., 2021). Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis menjadi contoh jenis mikroalga yang telah terbukti memiliki kemampuan bioremediator dalam mereduksi logam berat nikel (Zakir et al., 2022).
 
Chlorella vulgaris
Spirulina platensis

Mikroalga mampu menurunkan konsentrasi logam pada medium tumbuhnya melalui kemampuannya dalam biosorpsi, adsorpsi dan bioakumulasi (Purnamawati et al., 2015). Biosorpsi adalah teknologi pengolahan limbah terbaru yang digunakan untuk menyisihkan/menghilangkan logam berat yang bersifat racun dengan menggunakan bahan biologis, seperti halnya mikroorganisme sebagai agennya (Ratnawati et al., 2010). Dalam upaya penanganan limbah dari industri, penggunaan absorben untuk mengadsorpsi atau menyerap logam berat juga sering digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu lebih ekonomis dan juga tidak menimbulkan efek samping yang beracun serta mampu menghilangkan bahan-bahan organik (Anggriani et al., 2021). Terkait bioakumulasi, proses ini dapat diartikan sebagai peningkatan (penimbunan) konsentrasi suatu unsur kimia dalam tubuh makhluk hidup (Nurhayati & Putri, 2019).

Berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka gunakan informasi tersebut sebagai landasan bagi anda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Temukan beberapa landasan yang memperkuat potensi mikroalga sebagai solusi dalam menangani masalah pencemaran perairan. Silahkan mengesklore informasi dari literatur relevan guna mendukung landasan yang anda kemukakan!
  2. Menurut anda, apakah keberadaan mikroalga penting untuk dikonservasi? Mengapa demikian?
  3. Setelah menemukan arti penting dari keberadaan mikroalga bagi ekosistem perairan, apa upaya anda untuk menjaga kelestariannya?
  4. Menurut anda, apakah anda dapat merealisasikan upaya tersebut serta dapat mempengaruhi orang-orang di sekitar untuk melakukan upaya perlindungan yang sama dengan anda? Bagaimana cara anda meyakinkan mereka untuk turut berkontribusi? 
Silahkan tulis jawaban yang anda peroleh di kolom komentar!

Mikroalga Resisten Hg

Posted by Khairunnisa on April 02, 2023 with 172 comments
Anda telah memperoleh informasi dari materi sebelumnya bahwa kehadiran limbah yang bersifat toksik seperti Hg dapat menjadi faktor pembatas terhadap keberadaan mikroalga. Namun tahukah anda bahwa terdapat jenis-jenis mikroalga tertentu yang memiliki tingkat toleransi tinggi, sehingga mampu bertahan terhadap kondisi cemaran tersebut?

Bacalah materi berikut untuk mengetahui jenis-jenis mikroalga yang resisten terhadap cemaran Hg!

Divisi mikroalga yang paling banyak ditemukan pada perairan yang terindikasi cemaran Hg berdasarkan hasil studi kasus yang penulis lakukan adalah Ochrophyta pada kelas Bacillariophyceae, kelompok diatom. Menurut Aryani et al., (2020) diatom merupakan kelompok mikroalga yang sering ditemukan dalam jumlah besar. Jumlahnya yang cenderung banyak diperairan disebabkan karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan, bersifat kosmopolit, tahan terhadap kondisi ekstrim serta mempunyai daya reproduksi yang tinggi.
Diatom memiliki karakteristik jenis yang terbagi menjadi dua bentuk, yaitu centric diatom dan pennate diatom. Centric diatom berbentuk simetri radial dan reproduksinya secara oogamy, sedangkan pennate diatom berbentuk kurang lebih simetri bilateral dan bereproduksi secara isogamy (Armanda, 2013). Masing-masing contoh jenis mikroalga berdasarkan bentuk morfologinya dapat dilihat pada gambar berikut:


Gambar 3. Bentuk Diatom (Taylor et al., 2007)

Sel diatom terdiri dari dua bagian yang disebut katup (Valve), yaitu epivalve dan hypovalve. Karakteristik ini menjadi salah satu dasar atau panduan untuk identifikasi diatom secara morfologi, sehingga dapat digolongkan menjadi berbagai jenis. 

Gambar 4. Bagian Valve Diatom (Zurzolo & Bowler, 2001)

Karakteristik anatomi yang umum ditemukan pada kelompok Diatom adalah sebagai berikut:

Gambar 5. Anatomi Diatom (Taylor et al., 2007)
Penulis menemukan beberapa jenis mikroalga Diatom yang memiliki ketahanan terhadap keberadaan Hg. Bentuk-bentuk mikroalga tersebut (data primer) dan karakteristiknya disajikan sebagai berikut:

Navicula goersii
N. goersii memiliki katup yang secara luas berbentuk lanset, ujungnya menyempit menjadi rostellate. Area aksial sempit. Area sisi tengah, persegi panjang, memanjang hampir ke tepi katup, satu garis pendek di setiap sisi. Raphe berbentuk biraphid simetris, lurus, seperti benang. Striae lebar, linier, memancar dan sedikit melengkung di sekitar area tengah, sejajar atau sedikit meruncing ke ujung, berjumlah 14 (tengah) hingga 16 (ujung) dalam 10 µm. Panjangnya, 8-14 µm (biasanya 12 µm). Lebar, 3-4 µm (biasanya 3,5 µm). Motilitas tergolong cukup motil dan hidup soliter.


Gambar 6. N. goersii

 

Pinnularia viridis
Secara umum genus Pinnularia memiliki frustula berukuran besar, panjang sel 13–120 µm dan lebar 4–16 µm. Striae adalah alveolate. Secara internal, striae terletak di dalam bilik. Bukaan bilik terlihat jelas sebagai garis memanjang yang melintasi striae. sistem raphe lurus atau kompleks dan tergolong biraphid simetris. Secara eksternal, ujung raphe proksimal melebar dan sedikit ditekuk ke sisi yang sama. Celah terminal raphe dibelokkan dan dapat membentuk tikungan melengkung yang berbeda (bentuk tanda tanya). Area tengah dapat meluas ke satu atau kedua sisi. Sel hidup mengandung dua plastida. Tersebar luas dan umum pada sedimen dan substrat lainnya serta dapat bercampur dalam rumpun lumut. Jenis air berkisar dari miskin nutrisi hingga kaya nutrisi. Pinnularia seringkali melimpah di perairan yang rendah konduktansi dan sedikit asam. Hidup soliter dan tergolong cukup motil.
 
Gambar 7. P. viridis
 
Aulacoseira sp.
Sel Aulacoseira berbentuk persegi panjang (tampilan girdle) dan dihubungkan bersama untuk membentuk filamen panjang dan tergolong centric. Permukaan dinding sel silika memiliki tanda khas berupa deretan titik (punctae) dan ujung sel memiliki cincin duri (satu atau dua di antaranya mungkin cukup panjang) yang menghubungkan sel-sel tersebut. Sebuah sulkus biasanya dapat diamati antara mantel dan pita girdle. Kloroplas berbentuk cakram dan biasanya berwarna cokelat keemasan. Umumnya berkoloni dan tidak motil.
 
Gambar 8. Aulacoseira sp.
 
Nitzschia sp.
Katup berbentuk linier hingga linier-lanset dengan sisi sejajar, kecuali di dekat bagian tengah sisi bantalan keel, yang cekung. Apeksnya membulat dan hampir seperti capitate. Raphe tergolong Nitzschioid yang terletak secara eksentrik di dalam keel yang didukung oleh fibula. Striae berbentuk paralel. Katup tidak memiliki tulang dada. Dua kloroplas besar hadir, satu di kedua ujung area tengah. Panjang sel 20–250 µm dan lebar 4,5–16 µm. Sel hidup soliter.

Gambar 9. Nitzschia sp.
 
Krasskella kriegeriana
Jenis ini memiliki kisaran panjang 12,9-15,1 µm dan lebar 1,2-1,6 µm, striae dalam 10 µm berjumlah 25-26. Katup berbentuk linier, dengan subcapitate ke capitate apeks. Katup berukuran kecil dan sedikit mengandung silika. Area aksial linier dan sempit. Raphe tergolong biraphid simetri dengan ujung raphe proksimal ditempatkan jauh. Pada mikroskop cahaya, ujung raphe proksimal menebal dengan jelas. Striae sejajar di tengah katup, dan sedikit konvergen di dekat apeks. Setiap stria terdiri dari satu areola memanjang. Pada tampilan girdle, frustula sempit, hampir persegi panjang dan ujung raphe proksimal yang menebal terlihat jelas. Motilitas lemah dan umumnya berkoloni.

Gambar 10. Krasskella kriegeriana
 
Tabellaria fenestrata
Spesies ini memiliki rentang panjang 39.0-83.0 µm dan lebar 2.1-6.9 µm, striae dalam 10 µm berjumlah 14-19, tergolong araphid. Katupnya linier dengan inflasi medial yang lebar, atau sedikit lebih lebar, daripada apeks capitate yang jelas. Striae sejajar dan berselang-seling. Area aksial sempit dan linier. Striae mencapai katup pusat. Pita girdle terbuka, dengan septa regular. Empat girdle band per frustule. Terdapat satu rimoportula per katup, biasanya terletak di, atau dekat inflasi medial. Septa rudimenter tidak ada dan duri marginal tidak ada. Sel-sel tersebut tergabung dalam koloni yang membentuk rantai panjang dan lurus. Frustula berbentuk persegi panjang dalam tampilan girdle.
 

Gambar 11. Tabellaria fenestrata

 
Gyrosigma obscurum
Jenis ini memiliki kisaran panjang yaitu sebesar 118-143 µm dan lebar 11-12 µm, striae dalam 10 µm berjumlah 28-29. Katup berbentuk lanset linier dan sedikit sigmoid, dengan apeks membulat tajam. Area sentral dan raphe proksimal berada pada sudut miring ke arah margin katup. Area tengahnya kecil dan berbentuk elips. Raphe sangat sigmoid dan terkategori biraphid simetri, eksentrik ke arah margin katup cembung, terutama di dekat apeks. Raphe proksimal berakhir hampir bertemu di area tengah dan lurus. Ujung raphe distal membelok sedikit ke arah margin katup yang berlawanan. Striae transversal terlihat, tersebar merata di seluruh bagian dan paralel, meskipun dapat tampak bergelombang karena kelengkungan permukaan katup. Striae longitudinal tidak terlihat. Motilitas tergolong sangat motil dan hidup soliter.
 
 
Gambar 12. Gyrosigma obscurum
 
Stauroneis sp.
Stauroneis tergolong biraphid simetri, memiliki navikuloid dan sebagian besar sel memiliki dua kloroplas, satu di setiap sisi sel melawan cingulum. Katup berkisar dari hampir linier hingga lanset hingga elips-lanset. Area pusat adalah fasia melintang yang menonjol, yang dikenal sebagai "stauros". Fasia sentral biasanya meluas ke margin katup, terdapat satu hingga beberapa striae pendek. Striae bersifat uniseriate dan belang-belang. Areola biasanya bulat, tetapi memanjang melintang pada beberapa spesies. Motilitas tergolong cukup motil dan hidup soliter.

Gambar 13. Stauroneis sp.
 
Anomoeoneis sphaerophora
A. sphaerophora memiliki rentang panjang 43-83 µm dan lebar 16,4-22,0 µm. Striae dalam 10 µm berjumlah 16-18. Katup berbentuk elips hingga elips-lanceolate, dengan sub-rostrat untuk membentuk apeks. Area aksial sempit dan dibatasi di setiap sisi oleh satu baris areola. Jarak lateral areola bervariasi, kecuali di dekat batas katup. Area tengahnya asimetris dan lirata, mencapai margin katup di satu sisi dan membulat lebar di sisi yang berlawanan. Area tengah memiliki striae hantu yang samar. Raphe terkategori biraphid simetris, bersifat lateral dan lurus. Ujung raphe proksimal sedikit menggembung dan bengkok ke satu sisi. Fisura raphe distal dibelokkan tajam ke arah yang sama. Striae menyebar, menjadi paralel atau sedikit konvergen di apeks. Hidup di perairan sungai, danau dan lahan basah. Motilitas tergolong cukup motil dan hidup soliter.
 
 
Gambar 14. A. sphaerophora
 
Setelah membaca materi di atas, gunakanlah informasi yang anda peroleh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

  1. Bagaimana suatu spesies dapat dikategorikan sebagai spesies yang resisten?
  2. Mengapa kelompok Diatom cenderung banyak di perairan?
  3. Kontribusi apa yang dapat anda berikan terkait upaya untuk menjaga kestabilan komunitas mikroalga di ekosistem perairan? Anda dapat mengaitkan jawaban anda dengan hal-hal yang menjadi faktor pembatas keberadaan mikroalga seperti yang telah dijabarkan pada materi sebelumnya!

Tulis jawaban yang anda peroleh di kolom komentar!